Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Sumatera Selatan

Jumat, 14 Oktober 2011

Ahmad Fauzi Al Idrus


Ahmad Fauzi Al Idrus lahir di Labuhan Haji , Lombok, 25 Nopember 1973. Alumnus Universitas Islam Malang, pernah Juara I Lomba Baca Puisi tingkat guru Se-Sumatera Selatan Bulan Bahasa tahun 2009, menulis puisi di media lokal Palembang, seperti Harian Sumatra Exspres. Aktifitas sehari-hari Guru Honorer di SMPN 3 Pemulutan Selatan.
Alamat Sekarang : PERUM OPI Jl. Maluku, Blok F No. 17 Jakabaring, Palembang.
Email : ozizong@yahoo.co.id Blog : www.waroengkata-kata.blogspot.com
No. HP : 087897958773


Cinta Bunga-bunga

Kemarin kau masih terlihat kuncup
Ketika kusentuh kelopakmu yang kuyup
Dan kubisikkan kata cinta dengan jantung yang penuh degup
Hingga kaupun jengah dengan mulut yang masih saja terkatup.

Dan malampun tiba
Kau sebarkan segala aroma
Penuh warna menyatu dengan purnama
Senggama dalam gelap gulita yang penuh cinta
Mengerjap-ngerjap ikuti irama
Berkeluh kesah pada nikmat yang tiada tara
Menyeretku pada surga yang tak terbaca
Membalutku pada rasa adam dan hawa

Dan pagi ini kaupun mekar
Menyambut matahari yang penuh sinar

Jakabaring, 12 juni 2011


Anak-Anak Berkata : “Ajari Aku Merindukan Surga ….”

Ajari aku merindukan Surga
Seperti dahulu … ketika aku merindukan perut mama
Dan aku terlahir dari rasa cinta
Menjelma anak yang bermain ditaman-taman dunia
Menanti tubuh yang tumbuh penuh sempurna
Tanpa rasa paksa, siksa, dan penuh dusta

Ajari aku merindukan surga
Kata mereka penuh canda
Sambil memanggul senjata dipelataran bus-bus kota
Di simpang-simpang ibu kota.
Juga dihalte-halte cinta.

Ajari aku merindukan surga
Begitu mereka bicara
Sambil berdiri ditengah jalan menggenggam bara
Menyodorkan tangan disetiap kaca
Menyeka keringat dan sesekali terlihat gembira

Surga ….
Ajari aku merindukanmu

Jakabaring, 15 juli 2011



Mengapa Bintang Tahun Ini Selalu Muncul Pagi Hari

Mengapa Bintang tahun ini
Selalu muncul pagi hari
Bukankah bukan saatnya
Atau barangkali Kau telah mengutusnya
Mencoba menyaingi matahari
Yang bersinar tanpa arti


Kenapa bintang tahun ini
Selalu muncul pagi hari
Seperti kuncup melati
Yang tak jadi merekah dipetik Oji
Seperti setandan pisang muda
Yang di karbit Ibu dalam baki
Seperti cinta yang lagi bersemi
Karena penuh caci maki
Atau Seperti ilalang yang tak jadi meninggi
Karena disabit para petani

Ahhh ….
Kenapa bintang tahun ini
Selalu saja muncul pagi hari
Seperti bayi yang mati
Karena ibu tak memberi Asi.

Jakabaring, 21 Juli 2011


Tentang Kata

Di tombak merahnya kata
menghujam dihulu sukma
dan aku terpana meregang nyawa
sambil kualunkan lagu cinta

... Ketika sampai diambang neraka
kudengar parau suara-suara:
"Darah-darah cinta,
Mengalirlah ke negeri Surga ....!

Jakabaring, 5 September 2011


Ketika Kata-Kataku Tertinggal Di Ampera

Ketika kata-kataku tertinggal di Ampera
Kuharap bisa kupungut kembali
Sebab ingin kurangkai ia menjadi makna
Dalam sebuah irama puisi

Tapi tak kujumpa ia kembali
Kata-kata itu menjelma serupa tari
Menghiasi Musi yang selalu berseri
Dan tak kuingin ia lupa diri

Ketika kata-kataku tertinggal di Ampera
Kumau tak satupun yang tahu
Sebab tak kuingin ia menjadi rasa
Dalam sebuah ragu dan tak tahu malu

Tapi tak kujumpa ia kembali
Kukira ia yang serupa tari
Padahal tak sedikitpun Musi bernyanyi
Dan akupun sunyi berlalu

Ketika kata-kataku tertinggal di Ampera
Dan akupun kembali
Hanya kutemukan jejak kaki-kaki mereka
Yang tak kan pernah mungkin kembali.

Jembatan Ampera, 11 januari 2011


Ketika…Cinta ?

Kau tenggelamkan dirimu disana
Pada gumpalan pasir panas yang membara
Menjelmakan diri menjadi Fatamorgana
Mencipta asa pada setiap yang terpana

Dan ketika beberapa mendekat penuh Asmara
Kau tersenyum tanpa cinta
Mengeringkan segala dahaga
Membuyarkan segala keinginan tawa

Dan menjelang senja …
Kau terbang ke angkasa
Bercengkrama dengan surya yang bahagia
Hingga terbiaslah sinar pada cakrawala

Dan ketika ada yang memandang penuh suka
Kaupun memandang mesra tanpa cinta
Hingga raga bagai hilang nyawa
Tersungkur diantara para pujangga …

Jakabaring, 5 Oktober 2011


Percintaan Bulan

Bulan birahi di singgasana
Membakar dirinya dengan cinta
Menyisakan serpihan bintang-bintang kecil tak bernama
Menyebar menjadi aroma tanpa rasa

Dan kini ia tiada
Matahari menangis diantara panasnya
Meredup sinar tanpa asmara
Hingga bumi berselimutkan gelap gulita

Tak berselang lama
Bulan kembali bercinta di surga
Menenggelamkan para malaikat tanpa busana
Terhanyut dalam putaran tanpa dosa

Dan kembali ia tiada
Matahari masih menangis dalam panasnya
Bumipun mati tanpa cahaya
Menggigil dalam tawanya ….

Jakabaring, 8 Oktober 2011

Minggu, 31 Juli 2011

Herdoni Syafriansyah

Herdoni Syafriansyah lahir di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 7 Oktober 1991. Sejak kecil ia telah senang membaca dan seorang muda pecinta sastra. Pernah menjadi peraih nilai kedua tertinggi dalam acara Tryout Akbar Se-Muba tahun 2009 yang ikuti 1.700an peserta. Pada pertengahan tahun 2009 atau selepas SMA, ia mulai menekuni tulis cerpen dan puisi. Ia juga (pernah) bergabung di FLP Muba dan Teater Cindai Muba. Beberapa karyanya ada dijumpai pada situs cyber sastra, dan media Sumsel seperti: Majalah Muba Randik, Harian Musi Banyuasin, Majalah Pemprov Sumsel Young-G, dan Berita Pagi Sumsel. Untuk bersapa salam dengannya dapat melalui kontak FB di Herdonisyafsyakemilau@ymail.com dan nomor ponsel di 085267153015.


Yang Diharap Gugur Yang Diharap Cucur
( buat Tri Akbarisyah )

surya tenggelam. lentera padam
berjuta kilau melesat tajam
mengiris malam

tasbihtasbih melingkar langit
cahayacahaya menumpah bumi
bismillahbismillahbismillah
cahaya merekah di rumah Allah

lentera padam. bulan temaram
pukau tekuk merapat kalam
menarung malam

tasbihtasbih melingkar langit
bismillahbismillahbismillah
syafaat kami meruah tumpah

bismillahbismillahbismillah
qalbu menetes mendesau fitrah
cucurlah susu gugurlah tuba

allahuakbar, allahhurrahim
ya allah, ya rahman, ya rahim

( Sekayu, 25 Juli 2011 )


Syilogisme Sebab (3)

: Kepada Rumaisha Sulaim

Tidaklah hujan turun melainkan aku melihat tangismu

hai… anakku dari bani sulaim
mendekatlah, mendekatlah, mendekat engkau kepadaku
mari, sertakan senyummu kasihku

lepaslah letihmu di sini
inilah surga kami
dan di sana
tawarlah dahagamu
dengan segar telaga kautsar
ciciplah buahbuah
nikmatkami
untukmu

“kau wanita berparas cahaya
menjadikan islamku mahar kawinmu
kau wanita berhati mulia
menggugah rindu surgaku menunggu”

maka engkau mendekatlah anakku
maka engkau bahagialah anakku

jangan lagi kau tawan hujan dengan dukamu
sebab tujuh langit telah mencatat
namamu dalam daftar tamuku

( Sekayu, Juli 2011 )


WASIAT

kita kembali ke medan perang
kecipakkecipak warna
hujan api bertaburan

mengharap kejatuhan bulan
langit pekat biru
cakrawala mengungu
basah semesta pada kecupan fana
awangemawan menyibak langit

orangorang langit tengah berpesta

suatu ketika seorang nabi membawa getir
keringat hujan dari
asal nelangsa biru lautan
ia berlari memecah perih dalam
dahaga memapas putir titiran mega
menjungkir singkir jungkir angin kelana

orangorang langit tengah berpesta
langit pekat hadirkan perjamuan
putri rembulan menari dalam cakrawala
bidadari jelita bersenandung renyah sukasuka
iblis terkekeh dari neraka

“kalian semua sama!!” kata Allah
“Ya!!” kata pohonpohon
“tiada beda pangkatharta” kata Allah
“Ya!!” kata pohonpohon
“kuseru kalian berperang…”
“Ya” kata mereka

jati, merbau, temesu, sungkai,
bungur, kemutun, ketiau, seru,
gelunggang, medang, pelai, racuk.

Kupanggil yang beriman di antara kalian
untuk berperang, menebas sawang di langit hati
melawan iblis yang tak matimati

merentanglah si dahandahan
merancaplah doadoa pengharapan

mereka sedang berperang
mereka selalu berperang
pun nanti selalu berperang

orangorang langit tengah berpesta
langit pekat hadirkan perjamuan
putri rembulan menari dalam cakrawala
bidadari jelita merinaikan gita

:
inilah hidup inilah warna
untuk terjadi dan akhirnya
pada sebelum lalu kemudian
pada jalan dan tujuan

inilah hidup inilah warna
untuk dilalui kalian semua
pada pilihan pada keinginan
pada apa yang diharapkan

hidup hanya mengulang kisah
menanti lelah dalam sejarah
bila tiada pandai ia mengakali
terpuruklah ia mati sendiri

inilah hidup inilah warna
pada badan penuh luka
inilah hidup inilah warna
untuk dilalui kalian semua.

iblis terkekeh dari neraka.
merentanglah si dahandahan
merancaplah doadoa harapan

pukul lesak genderang ditabuh
sembilu angin merisau sendu
perang dan selalu berperang
tiada lagi mufakat qalbu
…………………………...

sungguh, hanyalah tuhan
kamus makna segala tahu

( Sekayu, 28 Juli 2011 )

Senin, 28 Maret 2011

Mutiah Ayu Rasta


Terlahir di kota Palembang. Saat ini masih tercatat sebagai seorang siswa di SMA Negeri 2 Int. Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sangat tertarik pada instrumen musik Aerofon, terutama Harmonica, Recorder, dan Saxophone. Menulis puisi sejak duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Aktif di berbagai forum sastra sekolah, olimpiade astronomi, pengembangan diri khususnya karate, dan pernah menjabat sebagai ketua School Theatre Club periode 2009-2010. Beberapa karyanya pernah dimuat di Berita Pagi, Musi Banyuasin Post, Majalah Sastra Horison, Jurnal Bogor, dan tergabung di antologi bersama Seratus Puisi Ibu Seindonesia, serta pernah menjuarai lomba Cipta dan Karya Puisi untuk tingkat Provinsi Sumatera Selatan. Mengasuh laman kumpulan puisinya di http://mutiahayurasta.blogspot.com.


BLACK SCARF UNTUK PECANDUKATA

Ialah
Bapak dari dalam keyakinan
Yang kita percayai
Sebagai kemasygulan dan kemakmuran doa
Yang bertebaran di sepanjang perjalanan
Yang tak begitu saja dengan mudah
Dipaksakan untuk bersetia
Bersedia
Berlama dan berulangkali
Bertahan dari reruntuh waktu
Yang jatuh
Dan mengerat erat peluk pada
Tangan yang membawa dan
Memikul rindu yang berkembang
Dan tanpa hilang percuma

--Sekayu '10


PLAK

dari mata
mengalir nama matahari dan bulan.
dari mata
malam beramai-ramai menikam
kerinduan pada cinta
ingatan pada dada
letupan pada kaki yang sengaja
menggeliat, mengusap-usap telapaknya
hingga perih luka menjadi lading
dan bedil
dan matapisau
yang abadi

--Sekayu, 10


DENGAN SINGKAT

nasihat itu ada pada tiap kata dan doa yang membentuk kau menjadi manusia yang mengaliri darah dan tubuhnya di antara sungai dan muara

di surga sana. dan jembatan adalah penghubung nikmat yang memasygulkan penciptaan dari seseorang yang menendang bola di lapangannya

dengan belah tengadah yang terus,
sampai hilang-tiada

--2010


YANG BERASAL DARI POTONGAN BUNYI
: padang

ada yang telah keluar dari
rumahnya,
bunyi yang lagi mengguncang.

pada setiap potongan-potongan
yang belum sempat ditafsirkan
laksa jejak yang retak terbentang

tidak berupa ombak yang
menderu
tembok-tembok di pantai,

pun bukan perahu-perahu cadik :
yang kian asin di dada laut panjang

pada setiap potongan
keluar bunyi yang lagi
mengguncang, meretakkan.

30 September 2009


TANAH SUBUH

Burung telah datang membawa banyak benih biji dan sari yang terkandung dalam rahim tanah (tempat menggeraikan tubuh mereka saat gelombang hujan badai gulungan gerimis yang landai)

siang menepi membawa burung terbang

burung itu beramsalkan pohon yang banyak daun juga buah rambutan : yang asalnya dari benih biji yang banyak rambutnya
sama seperti bulu burung yang kadang rontok
menyentuh segala ujung pangkal yang
membikin banyak
tanaman
yang mengalir dalam rahim tanah di mana
pinggulnya :
subur
lebih dari segenap gerimis sebelum hujan mengalir
banih
baru bagi
banyak tanaman....

--Palembang, 2009


Sumber :
ISYARAT JANTUNG DAN MATA
(sekumpulan puisi)




Kamis, 10 Maret 2011

Amin Mulyanto




Lahir di Tuban,12 Mei 1972. Selain gemar menulis (untuk koleksi sendiri), juga mengabdikan diri di Balai Bahasa Palembang, Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional sebagai tenaga teknis (peneliti). Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan bahasa dan sastra daerah (sastra lisan), khususnya di wilayah Sumatera Selatan baik kelompok maupun perorangan. Lomba penulisan puisi prosaik ini sebagai ajang pengembangan diri untuk menyalurkan kreatifitas dan bakat menulis, sekaligus untuk menambah dan mengembangkan wawasan dalam dunia sastra, serta menilik lebih jauh perkembangan sastra Indonesia.


Bualan Bulan


kubiaskan wajahku dari keangkuhan duniamu
yang selalu terlihat ”glamour” itu katamu
di saat kupejamkan mata kau tersentak
hentak oleh ke-glamouran-mu yang tak berdaya

sunyi senjamu terasa nista
namun, kupertaruhkan wajah demi ketentraman
atas jiwaku yang meronta
namun, kau tak mau mengakuinya…

wajahku menawan, lembut bagai biduk merindukan…
kau pasrah dalam buaian malamku yang penuh gairah…
sayu-sayu kusinari dayumu yang layu…
hingga kau terkapar dalam pelukku…

akankah malam merangkulmu tanpa biasku, wahai sang gairah…
karena kusut tlah membawamu membelai kilauan wajahku yang bisu.

Palembang, 26 April 2010


Lantunan Semesta

tersirat rasa sejuk
menyelimuti sekujur tubuh dalam laku munajat
mengakrabi serangkaian peristiwa-peristiwa membisik
nuansa alam yang lantunkan lirik merdunya

hati berbisik menyetubuhi keterbukaan
akan peristiwa yang digejolakkan alam
melalui serentetan perubahan akrab setiap prilaku
yang memperlakukannya ke sisi-sisi kehidupan

semesta kembali menyapa
teriring lantunan kisah memperkenalkan
kejadian atas peristiwa yang berlalu
tuk kembali nyanyikan lagu pemahaman

tentang semesta beserta isinya
tentang semesta beserta peristiwanya
tentang semesta beserta lehidupan yang ada
tentang semesta dan sang pencipta

untuk menterjemahkan munajat lantunan semesta yang dirasakannya....
untuk kembali berserah atas lantunan semesta yang diciptakanNya.....
hingga diri merasa sejuk mengakrabi
lantunan semesta yang mengantarkan diri mengingat kebesarnNya...

Palembang, 28 sept 2009


Sujud

kuberada jauh…menepis sejengkal rindu
memaknai ribuan kelakar tak berujung
tuk dihempaskan pada kelir dunia
yang selalu memberikan nuansa kisah

pahami akan perjalanan waktu
antara pikir dan jiwa yang menyatukan
perdebatan olah menuju yang haq
atas bersit rintihan ruhani

kujejaki setiap jelang rindu
menguak ribuan nafas tersendat
tuk dihembuskan pada keikhlasan batin
yang selalu memberikan nuansa ceria

lingkupi sejuta perjumpaan
antara sadar dan ketidaksadaran
pergulatan rasa menuju yang hakiki
atas keluh tangisan jiwa

Palembang, 24 November 2009


Fatamorgana

sekejap dalam riuh gemuruh angin
melambai tangan menyambut tepukan
hingga suara serentak memanggil
suasana hening yang mulai merasuk

sekejap membludak detak kekaguman
atas tirai yang mulai lusuh
terselimuti debu yang terbawa angin
pada keakuannya yang mulai hilang

hening dan hilang mulai memadu satu
menggerayang sekejap pekat kejiwaan
yang mulai goyah atas riuhnya
namun tak kuasa menahan akan kekuatan yang semakin menggetarkan

jiwapun mulai kabur dari kenyataan sebenarnya…
lalu akankah hidup terus membuka diri dalam kehampaan yang nyata…

Palembang, 12 Februari 2010


Mendulang Pasrah atas Kisah

putih menjelma bayangan hitam
mendekam kelam dalam jenuh kepiawaian
kulihat kisah baru terlintas pasrah
mendekap bui rangkaikan sekatan

legammu warnai perbenturan
antara benar dan bujuk peranan
lemahmu warnai pertahanan
antara kekuatan dan unjuk kepasrahan

kau campakkan segala kegalauan
bersama duka, perlihatkan suka
kau utarakan segala kebohongan
bersama letih, meskipun merintih

kini kau yakin
esok kan terus berbagi
mengungkap sekilas pandang kepiawaian
kegalauan yang berujung kisah membekas pasrah…

Palembang, 8 Mei 2010

Senin, 08 November 2010

Syamsul Noor Al-Sajidi


Lahir di Palembang 7 februari 1967. Menulis sajak, cerpen, artikel, esai, dan naskah teater panggung. Beberapa puisinya terhimpun dalam antologi puisi Ghirah (bersama beberapa penyair lain). Naskah teater panggung yang ia tulis dan pernah dipentaskan di Palembang atau di Jakarta, antara lain berjudul Renungan Sebaris Nafas, Ranti Ramanti, Pusaran Musim, Kokoh Akar Tudung Daun, Tek Tak Tek Tong, Bumi di Atas Langit, Balada Suka-Suka, dan Demi Masa.
Pada tahun 1992 membidani kelahiran Ikatan Penulis Muda Palembang (IPMP)
Bersama T. Wijaya, Koko Bae, Anwar Putra Bayu, Dimas Agoes Pelaz, dan Tonton Dai Permana. Lalu, Sanggar Kesenian Peranserta (Sangsekerta), P2M Sumsel (1994 – 1996). Sejak 1995 sampai sekaran ia aktif sebagai aktivis Forum Studi Seni dan Filsafat (FS2F) Sumsel, dan terus menulis karya sastra.



Aku Masih Bertanya

persekutuan apa kalian dirikan?
perekonomian makin sekarat
rakyat makin melarat
kolusi makin berkarat
koruptor tetap selamat
kejujuran makin sulit dirawat

masa depan siapa kalian investasikan?
bom di dapur rakyat meledak
bencana alam kian merebak
politisi sibuk berteriak
birokrat asyik memandang sepihak
para penjilat terbahak-bahak

hukum siapa kalian terapkan?
kepastian terombang-ambing oleh ketidakpastian
teka-teki dikemas jadi peraturan


Palembang, Muharram 1423


Ruang Hampa Udara

bunyi kehabisan suara
saat mengucap nyeri kenyataan
beragam slogan memenuhi dinding
pintu terkunci membiarkan setiap ketukan
“kami butuh udara. oksigen,” teriak orang-orang
“sabarlah, kami sedang menyusun demokrasi.
harga tetapstabil,” ucap orang-orang dari luar ruang

bunyi kehabisan suara
saat menatap luka perjuangan
kepastian makin tidak pasti
pintu tetap terkunci
terpaksa harga naik lagi untuk mengurangi subsidi
di sini, angkasa bertepi


Palembang, Dzulhijjah 1421

Anwar Putra Bayu

Anwar Putra Bayu, sosoknya biasa saja. Sedikit kurus, berkumis, dan berkacamata. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, atau catatan pada kolom seni/budaya di Harian Sumatera Ekspress dan Sririjaya Post. Beberapa karyanya seperti : Sajak pulau Kemarau, Sembunyi Dari Angin Musim Penghujan, Kotaku Telah tenggelam, Lelaki itu. Sastrawan Sumatera Selatan penyuka kopi ini sering mengikuti acara pertemuan penyair baik sifatnya lokal maupun nusantara.




Dalam Sakit


Dalam waktu yang lama kau sakit
lalu berjalan dengan pikiran yang begitu rumit
dan dikau temukan kembang
bermandi cahaya
Apakah kemarin senja kau meletakkan kehormatan
manakala seseorang menaruhkan cintanya

di atas selimut bergaris yang kau kenakan?
Ya,ya, itu kecerahan. Katamu bersulang
mulailah bermain dengan kekaleman
meski kau tak dapat menolak keindahan musim bunga
disaat sakit terus menguntit.

2010


Bulan Separuh Bayang

Kauberada di dalam alam
terbentang dan sejuk
melihat diri sendiri
melewati kegelapan yang sempurna.
Kautegak dalam selimut dingin pada ranjang malam
lalu kau tidak mampu berpikir bagaimana kesempurnaan itu
seperti ketika mengawal seberkas cahaya
dalam kelambu kegelapan.

2008


Kau Harus Marah


Begitu? Kaumemarahi diri sendiri
karena jalan hidup yang tidak sehat
lalu bagaimana dengan pikiran
serta para perempuanmu?.
Perempuan itu suka padamu
tapi dia harus membutuhkan akal sehatnya berjalan
dan dia memerlukan perasaan
sebagai manusia. Bukan perempuan.
Perempuan seperti dia
memerlukanmu cuma untuk mencari kehangatan
di samping mendengarkanmu membaca novel
dengan suara keras
Baik, baik,
kauharus marah-marah pada dirimu sendiri
karena kau tak punya persediaan kata-kata
untuk kemarahanmu
kata-katamu untuk cinta, kemarahan, kasih sayang, rindu dendam,
habis kau buang dalam puisi-puisimu
sebagai manusia saatnya kaumulai marah
dan katakanlah: dasar cinta!

2008


Badanmu Tumbuh Sayap

Kau makin lelah
untuk segala cinta
dan kata bersayap.

Kau turun dari tangga dan menuntunnya
maka kau telah mengobarkan rasa absurd
dua sisi badanmu tumbuh sayap
masihkah kau ingin belajar terbang?

2009

Kamis, 01 Oktober 2009

Pringadi Abdi Surya


Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang (Sumsel), 18 Agustus 1988. Masih mengikuti perkuliahan di D3 Akuntansi Pemerintahan STAN sambil mengurusi blognya http://reinvandiritto.blogspot.com.

Namanya turut tercantum di antologi Kepada Cinta (gagasmedia, 2009) dan kumpulan puisi miliknya sendiri, Alusi (pustakapujangga, 2009). Lebih sering memenangkan perlombaan cerpen ketimbang puisi. Pencapaian puncaknya di puisi sejauh ini adalah hanya menjadi nominee radar bali award 2009.

Dapat dihubungi di prince_darkness101@yahoo.com

Topi Bundar dan Anak Panah
Yang Mengenal Jalan Kembali



Topi saya bundar
bundar topi saya

TAPI tak bundar topinya, tak
bundar buminya. Ia yakin datar
dunia sedatar mimiknya yang
tengah memenggal Galilea
di depan petinggi gereja

di kepala nya yang terpenggal
ia pasangkan topi kerucut

biar lucu seperti badut (katanya)

*
Kalau tidak bundar
bukan topi saya

PASTI ulah Robin Hud yang
mencoba memanah topinya
tapi tak kena

jadi ia siapkan busurnya dan
menembakkannya ke utara
yang jadi arah favoritnya

"arah ini tak pernah mengenal
jalan kembali. sebab datar dunia
akan menerbangkannya ke

entah mana."

*
topi saya bundar
bundar topi saya

kalau tidak bundar
bukan topi saya

"Galilea Galilei, apa panahku sudah
kau mantrai hingga mengenal
jalan kembali?"


(2009)


Setelah (Dan Sebelum) Evolusi


Memilih menjadi manusia, membuatku lupa
bagaimana caranya menjadi kera, berpindah
dari akar-akar langit yang menggantung

sudah satu abad rupanya, sejak jaman
pertengahan kita menjajaki pertumpahan
dan kini kita berevolusi, memilih materi

satu abad yang lalu, kita memilih menjadi
manusia dengan dada yang tidak sama. aku
bidang dan kau memiliki payudara yang menantang

dan kini, kau bilang ingin jadi anjing

*
kenapa tak jadi virus saja, pikirku
sama-sama kita gerus imun, seperti penyamun
yang datang diam-diam pada malam-malam lanun

menjangkit babi, ayam, kuku, mata, dan sapi
atau mutasi pada anjing; kepadamu, agar lelapkanmu
dari kenangan masa-masa evolusi kita yang lalu

sebelum jadi anjing dan manusia.

*
lalu kita apa sebelum jadi kera?

materi mungkin, atom mungkin, ion-ion tunggal
jagat raya, partikel-partikel ruang hampa (mungkin)

atau Tuhan?


Kau, Aku, dan Kota Ini
: umar kayam

di kota ini, Tuan

seribu kunang-kunang di Manhattan
yang pernah kau ceritakan, saat
aku masih mengemut sejuta anyaman
dari rotan yang diam-diam
kami sembunyikan di pepatah,
telah kutangkapi satu satu
dan kugantungkan di lampu-lampu taman
sebagai penerang malam yang kesepian

jadi mungkin saja suatu malam
kalau kau bosan di kuburmu, kau akan
menyaksikan perempuan (dan laki-laki)
bercumbu memagut malam, dan
meredupkan bintang-bintang yang
sebelumnya kau benci

*

di kota ini, Tuan

para priyayi sudah tak pandai mengaji
sudah tak pandai mengayomi gula-gula
mimpi yang pernah kau emut di kecup
keningmu yang manis

jadi mungkin saja suatu hari
kalau kau rindu televisi, kau akan saksikan
mereka di barisan supporter sepakbola atau
ikut berjoget dangdut ria yang tak lagi
dinyanyikan dengan irama (kecuali dengan
goyangan yang tak pernah kau saksikan
sebelumnya)

(2009)


Sebuah Lagu Yang Telah Usang
: hasan aspahani

Naik-naik ke puncak gunung
Tinggi-tinggi sekali

Tapi aku bingung, gunung mana yang harus kudaki,
tak ada gunung di sini. Sudah dikeruk menjadi ceruk:
menjadi genang yang menggelinang, persis airmata
ibu saat aku tak mau bersembahyang

“Gunung itu, yang tersisa, sudah meletus tadi pagi,” kata
seorang bekas juru kunci yang tadinya mau hidup abadi.
Tapi lalu lari, mengungsi ke lapak di sebelah kali, yang
jika banjir pun, akan tenggelam. Akan terendam.

*

Kiri kanan kulihat saja
Banyak pohon cemara

Cemara mana, pohon mana. Langit-langit pun tak ada.
Bercak-bercak akar yang tersisa sudah dijual menjadi pepatah; menjadi petuah yang menyunggingkan senyum di dua sosok berpeci di lembar kertas berwarna merah hati

“Kanan telah konon. Kiri telah tiri. Lurus saja,
tak usah tengak-tengok,” kata seorang sopir bus
yang badannya telah berdaki, tak mandi
berhari-hari. Persis kendaraannya yang tak lolos uji emisi.

(2009)


Penanak Batu dan Panglima Bermata Basah

1
Kapan kau akan datang kemari
Sekadar mengantarkan beras dan gandum
Dan berbiji kurma dimana engkau pernah
Menguburkan anak perempuanmu

Dulu, waktu masih jahiliyah?

2
Kami sudah kenyang sebenarnya
Makan batu yang sudah kami tanak
Berjam-jam lamanya

“Ibu, ibu, kapan batu kita matang?”

Anehnya malam ini batu tak matang-matang
Dan engkau tak datang-datang.

3
Aku dengar engkau sedang maju ke medan perang
Jadi panglima yang paling garang

Tak salah mungkin bila dikata engkaulah pedang
Engkaulah singa yang selalu siap menyerang
Setiap musuh yang hendak menerjang.

4
Tapi shubuh ini kita bertemu
Aku masih saja menanak batu

Dan ternyata, matamu bukanlah pedang, Tuan

5
Tuan, boleh aku mengusap rambutmu yang basah,
Keningmu yang basah, dan matamu yang basah?

(2009)

Ummi

Tanda kenabiankah kita
Yang tak sempat mengenal aksara
Dan berbagai macam tanda

Baca?

(2009)