Kamis, 01 Oktober 2009
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang (Sumsel), 18 Agustus 1988. Masih mengikuti perkuliahan di D3 Akuntansi Pemerintahan STAN sambil mengurusi blognya http://reinvandiritto.blogspot.com.
Namanya turut tercantum di antologi Kepada Cinta (gagasmedia, 2009) dan kumpulan puisi miliknya sendiri, Alusi (pustakapujangga, 2009). Lebih sering memenangkan perlombaan cerpen ketimbang puisi. Pencapaian puncaknya di puisi sejauh ini adalah hanya menjadi nominee radar bali award 2009.
Dapat dihubungi di prince_darkness101@yahoo.com
Topi Bundar dan Anak Panah
Yang Mengenal Jalan Kembali
Topi saya bundar
bundar topi saya
TAPI tak bundar topinya, tak
bundar buminya. Ia yakin datar
dunia sedatar mimiknya yang
tengah memenggal Galilea
di depan petinggi gereja
di kepala nya yang terpenggal
ia pasangkan topi kerucut
biar lucu seperti badut (katanya)
*
Kalau tidak bundar
bukan topi saya
PASTI ulah Robin Hud yang
mencoba memanah topinya
tapi tak kena
jadi ia siapkan busurnya dan
menembakkannya ke utara
yang jadi arah favoritnya
"arah ini tak pernah mengenal
jalan kembali. sebab datar dunia
akan menerbangkannya ke
entah mana."
*
topi saya bundar
bundar topi saya
kalau tidak bundar
bukan topi saya
"Galilea Galilei, apa panahku sudah
kau mantrai hingga mengenal
jalan kembali?"
(2009)
Setelah (Dan Sebelum) Evolusi
Memilih menjadi manusia, membuatku lupa
bagaimana caranya menjadi kera, berpindah
dari akar-akar langit yang menggantung
sudah satu abad rupanya, sejak jaman
pertengahan kita menjajaki pertumpahan
dan kini kita berevolusi, memilih materi
satu abad yang lalu, kita memilih menjadi
manusia dengan dada yang tidak sama. aku
bidang dan kau memiliki payudara yang menantang
dan kini, kau bilang ingin jadi anjing
*
kenapa tak jadi virus saja, pikirku
sama-sama kita gerus imun, seperti penyamun
yang datang diam-diam pada malam-malam lanun
menjangkit babi, ayam, kuku, mata, dan sapi
atau mutasi pada anjing; kepadamu, agar lelapkanmu
dari kenangan masa-masa evolusi kita yang lalu
sebelum jadi anjing dan manusia.
*
lalu kita apa sebelum jadi kera?
materi mungkin, atom mungkin, ion-ion tunggal
jagat raya, partikel-partikel ruang hampa (mungkin)
atau Tuhan?
Kau, Aku, dan Kota Ini
: umar kayam
di kota ini, Tuan
seribu kunang-kunang di Manhattan
yang pernah kau ceritakan, saat
aku masih mengemut sejuta anyaman
dari rotan yang diam-diam
kami sembunyikan di pepatah,
telah kutangkapi satu satu
dan kugantungkan di lampu-lampu taman
sebagai penerang malam yang kesepian
jadi mungkin saja suatu malam
kalau kau bosan di kuburmu, kau akan
menyaksikan perempuan (dan laki-laki)
bercumbu memagut malam, dan
meredupkan bintang-bintang yang
sebelumnya kau benci
*
di kota ini, Tuan
para priyayi sudah tak pandai mengaji
sudah tak pandai mengayomi gula-gula
mimpi yang pernah kau emut di kecup
keningmu yang manis
jadi mungkin saja suatu hari
kalau kau rindu televisi, kau akan saksikan
mereka di barisan supporter sepakbola atau
ikut berjoget dangdut ria yang tak lagi
dinyanyikan dengan irama (kecuali dengan
goyangan yang tak pernah kau saksikan
sebelumnya)
(2009)
Sebuah Lagu Yang Telah Usang
: hasan aspahani
Naik-naik ke puncak gunung
Tinggi-tinggi sekali
Tapi aku bingung, gunung mana yang harus kudaki,
tak ada gunung di sini. Sudah dikeruk menjadi ceruk:
menjadi genang yang menggelinang, persis airmata
ibu saat aku tak mau bersembahyang
“Gunung itu, yang tersisa, sudah meletus tadi pagi,” kata
seorang bekas juru kunci yang tadinya mau hidup abadi.
Tapi lalu lari, mengungsi ke lapak di sebelah kali, yang
jika banjir pun, akan tenggelam. Akan terendam.
*
Kiri kanan kulihat saja
Banyak pohon cemara
Cemara mana, pohon mana. Langit-langit pun tak ada.
Bercak-bercak akar yang tersisa sudah dijual menjadi pepatah; menjadi petuah yang menyunggingkan senyum di dua sosok berpeci di lembar kertas berwarna merah hati
“Kanan telah konon. Kiri telah tiri. Lurus saja,
tak usah tengak-tengok,” kata seorang sopir bus
yang badannya telah berdaki, tak mandi
berhari-hari. Persis kendaraannya yang tak lolos uji emisi.
(2009)
Penanak Batu dan Panglima Bermata Basah
1
Kapan kau akan datang kemari
Sekadar mengantarkan beras dan gandum
Dan berbiji kurma dimana engkau pernah
Menguburkan anak perempuanmu
Dulu, waktu masih jahiliyah?
2
Kami sudah kenyang sebenarnya
Makan batu yang sudah kami tanak
Berjam-jam lamanya
“Ibu, ibu, kapan batu kita matang?”
Anehnya malam ini batu tak matang-matang
Dan engkau tak datang-datang.
3
Aku dengar engkau sedang maju ke medan perang
Jadi panglima yang paling garang
Tak salah mungkin bila dikata engkaulah pedang
Engkaulah singa yang selalu siap menyerang
Setiap musuh yang hendak menerjang.
4
Tapi shubuh ini kita bertemu
Aku masih saja menanak batu
Dan ternyata, matamu bukanlah pedang, Tuan
5
Tuan, boleh aku mengusap rambutmu yang basah,
Keningmu yang basah, dan matamu yang basah?
(2009)
Ummi
Tanda kenabiankah kita
Yang tak sempat mengenal aksara
Dan berbagai macam tanda
Baca?
(2009)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar