Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Sumatera Selatan

Minggu, 14 Oktober 2007

Prakoso Bhairawa Putra S.


Prakoso Bhairawa Putra S

(Palembang)

Nama penanya Koko P.Bhairawa Lahir di Tanjung Pandan (pulau Belitung), 11 Mei 1984. Studi jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP-Universitas Sriwijaya (Palembang) Ia pernah menjadi wartawan pelajar “AkSes” Bangka Pos Group, aktif pada Lembaga Pers Mahasiswa ’Gelora Sriwijaya’ dan bertindak sebagai Pimpinan Redaksi pada Tabloid Mahasiswa “Indralaya Post” Universitas Sriwijaya dan pernah tergabung dalam Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) serta menjadi Koordinator Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Bangka-Belitung. Karyanya pernah menjadi juara: Bercerita Sekawanan Camar –Pemenang 1 Cipta Puisi tingkat Nasional 2001-2002, Bercerita Sekawanan Camar; episode 2—Pemenang 2 Cipta Puisi Online II se-Sumatera 2004, Cut Kuntum Juempa Mulai Mekar—Pemenang Harapan Cipta Puisi Online V se-Sumatera 2005, dan Cerpennya “Nek Tie” Pemenang Harapan Lomba Cerpen se-Sumatera 2005. Karyanya dimuat pada Suara Karya, Annida, Bangka Pos, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Transparan, Berita Pagi, Tabloid Anak Hoplaa serta tersebar diinternet. Megat Merai Kandis (Grasindo, 2005) merupakan buku komersilnya pertama yang disusun bersama sang Bapak. Bahkan cerpennya “Coklat di Negri Pasir” terpilih sebagai salah satu karya terbaik Lomba Cipta Cerpen Festival Kreativitas Pemuda 2005 yang diadakan Deputi Pemberdayaan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerjasama dengan Creative Writing Institute – dan terkumpul dalam antalogi pemenang La Runduma (Menpora-CWI, 2005). Ia bekerja di Telkomsel Personal Referensentativ (TPR) untuk GraPari Palembang. Salah satu puisinya :



Bercerita Sekawanan Camar
;episode Tiga

pagi baru saja bermula bersama kepak sayap sekawanan camar
mengiring nyanyian anak pesisir yang malu
bercengkerama dengan ombak
dan menarikan saman diantara riak gelombang
yang selalu menjilati telapak mungil mereka

di timur sinar matahari masih satu-dua mencumbui bibir pantai barat Aceh
kepak camarpun terlalu berat buat mengangkasa
tapi interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia
telah memaksa bocah pantai berlari
mengemasi ikan-ikan yang tak bisa berenang
lantaran air laut tiba-tiba lenyap
“ aku tak bisa mencegah mereka”
seekor camar tersudut hampa memandang
perkampungan nelayan yang kini rata
sekawanan camar coba menerbangkan diri lebih tinggi
butir partikel derita anak tanah rencong
memulai hingga ke langit dan mengirim nyeri keseluruh tubuh
di Meulaboh sekelompok camar kecil berputar
ada ribuan malaikat pengangkut roh di sana
berjaga diantara ratap, tangis dan puing tsunami
siap membuat jiwa putih naik ke surga
camar mulai tak sanggup bercerita
“ dua generasi hilang”
camar besar terbata
cinta para peri ada di mana
pada laut Aceh dengan kapal induk asing
atau pada tanah perjuangan Cut Nyak Dien
dengan dipadati kamp hijau pengungsian
dan ditiap jengkal bumi serambi
telah sesak oleh kuburan massal
sedang rumah pesisir tak bisa diandalkan
“ camar besar, matahari telah mengirim cahaya
pembasuh tiap rona anak-anak Aceh
daratan telah diluluhlantakkan tapi di hati
mereka tertancap asa keceriaan muda
camar, mari terbang ada yang harus dibangun di sana!”

Tidak ada komentar: